Rabu, 18 Juli 2012

Strategi Pungli Petugas Kelurahan Duren Sawit

Ane mau share nih tentang kecurangan individu petugas Kelurahan Duren Sawit. Baru aja ane selesai mengurus perubahan KK di Kelurahan, namun ada yang gak beres, yang membuat ane kesel.



Keselnya begini gan, di kelurahan ada papan besar yang bertuliskan Retribusi Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil, untuk KK bagi WNI dikenakan Rp 3.000 ,- namun petugas loket kelurahan Duren Sawit tersebut meminta Rp. 10.000,- yang katanya untuk biaya blangko KK. Ane langsung bayar aja tanpa bertanya maksud biaya blangko KK dengan biaya retribusi pada papan tersebut. Setelah ane kasih, ternyata ane gak dapet bukti pembayarannya. Dari sini ane mulai curiga gan, berita tanpa foto = hoax, maka retribusi tanpa bukti = pungli. ane tanya deh akhirnya ke petugas itu, kenapa gak dikasih bukti pembayaran? tanpa bersuara, petugas itu memberikan ane tanda bukti penerimaan infaq yang tertera Rp 5.000,-.



ane: koq tanda terimanya ini mas?
petugas: itu buat bazis.
ane: yang blangko KK mana?
petugas: ..... (diam seribu bahasa)
ane: ini saya harus bayar juga?
petugas: seikhlasnya aja


berhubung ane harus segera ke kantor, ane kasih dah Rp 5.000,- dengan ikhlas. Tapi yang Rp 10.000,- harus dipertanyakan.


Jumlah KK di Kelurahan Duren Sawit (Agustus 2011) sebanyak 29.871 X Rp. 10.000,- = Rp 298.710.000 angka yang lumayan besar tanpa ada bukti pembayaran atau tidak tercatat.


setelah sampai kantor, ane cari peraturan yang mengatur retribusi ini, dan akhirnya ketemu PERDA DKI JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI DAERAH berikut ini pasal yang mengaturnya.

pasal 8 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil:
a. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
  1. WNI sebesar Rp 0,00
  2. WNA sebesar Rp 0,00


b. Kartu Keluarga (KK)
  1. WNI sebesar Rp 3.000,00
  2. WNA sebesar Rp 6.000,00


c. Kartu Identitas Pendatang (KIP)
  1. WNI sebesar Rp 5.000,00
  2. WNA sebesar Rp 25.000,00


d. Pencatatan Kelahiran
  1. WNI sebesar Rp 0,00
  2. WNA sebesar Rp 0,00


e. Pencatatan Kematian
  1. WNI sebesar Rp 0,00
  2. WNA sebesar Rp 0,00


f. Pencatatan Perkawinan dalam kantor
  1. WNI sebesar Rp 75.000,00
  2. WNA sebesar Rp 150.000,00


g. Pencatatan Perkawinan luar jam kerja/luar kantor/hari libur
  1. WNI sebesar Rp 150.000,00
  2. WNA sebesar Rp 300.000,00


h. Pencatatan Penceraian
  1. WNI sebesar Rp 100.000,00
  2. WNA sebesar Rp 200.000,00


i. Pencatatan Pengakuan Anak
  1. WNI sebesar Rp50.000,00
  2. WNA sebesar Rp100.000,00


j. Pencatatan Pengesahan Anak
  1. WNI sebesar Rp 50.000,00
  2. WNA sebesar Rp 100.000,00


k. Pencatatan Pengangkatan Anak
  1. WNI sebesar Rp 50.000,00
  2. WNA sebesar Rp 100.000,00


I. Pencatatan Mutasi Data
  1. WNI sebesar Rp 5.000,00
  2. WNA sebesar Rp 10.000,00


m. Pencatatan Perbaikan/Perubahan Akta Catatan Sipil
  1. WNI sebesar Rp 10.000,00
  2. WNA sebesar Rp 20.000,00


n. Pencatatan Pembatalan Akta
  1. WNI sebesar Rp 50.000,00
  2. WNA sebesar Rp 100.000,00


o. Duplikat Akta Catatan Sipil
  1. WNI sebesar Rp 25.000,00
  2. WNA sebesar Rp 50.000,00


p. Salinan Lengkap Akta
  1. WNI sebesar Rp 50.000,00
  2. WNA sebesar Rp 100.000,00


q. Surat Keterangan Pelaporan Akta Catatan Sipil Luar Negeri
  1. WNI sebesar Rp 25.000,00
  2. WNA sebesar Rp 50.000,00


r. Keterangan Pengesahan Perjanjian Perkawinan
  1. WNI sebesar Rp50.000,00
  2. WNA sebesar Rp 100.000,00


s. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil lainnya
  • Rp5.000,00




Keterlambatan pendaftaran/pencatatan/pelaporan kependudukan dan catatan
sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selain
dipungut retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan
denda:
  1. WNI sebesar Rp10.000,00
  2. WNA sebesar Rp50.000,00




pada website resmi Dinas Kependudukan dan catatan sipil DKI jakarta pun sama dengan perda tersebut.


Dengan membuat trit ini ane berharap agar bloger semua bisa mengetahui motif pungli yang masih ada ditingkat birokrasi pemerintahan mulai paling bawah. Jadikan Kelurahan menjadi praktik kejujuran.

Jumat, 24 Februari 2012

Melihat Persidangan Teroris “kecil” Bima


oleh: Aditya Megantara
Anak dibawah umur disidang secara in absentia di Pengadilan Negeri Tangerang. Ia didakwa terlibat tindakan terorisme bersama enam pemuda. Perlukah perlakuan yang sama untuknya?
Pada 11 Januari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menggelar sidang perdana perkara terorisme yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab (UBK), Bima, Nusa Tenggara Barat. Mustakim Abdullah alias Mustakim, seorang murid kelas III SMP 02 Dompu  didakwa terlibat tindakan teror bersama dengan keenam terdakwa lainnya yang berumur antara 19 – 36 tahun yaitu Abrory, Sa’ban Umar, Rahmad Ibnu Umar, Asrak, Rahmat Hidayat, dan Furqon. Mustakim ditangkap pada 12 Juli 2011 dan menjadi tersangka kasus terorisme pada 19 Juli 2011. Mustakim yang masih dibawah umur tidak dihadirkan di Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana keenam terdakwa lainnya.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lalu Rudi Gunawan menyebutkan bahwa keterlibatan Mustakim dimulai saat ia membeli korek api dengan jumlah banyak atas permintaan Abrory, yang merupakan guru mengajinya di Pesantren UBK. Setelah sampai di Pesantren UBK lagi, ia lalu menggerusnya. Hasil gerusan korek api ini yang selanjutnya digunakan sebagai amunisi pada bom rakitan yang kemudian menewaskan Firdaus alias Suryanto Abdullah, kakak Mustakim yang merupakan perakit bom rakitan. Mustakim kemudian menyembunyikan keberadaan jenazah Firdaus, yang semasa hidupnya menjabat sebagai bendahara pesantren UBK.
JPU menuntut 1,5 tahun penjara dengan mendakwa Mustakim dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme pasal 13 huruf c, dikarenakan ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah memberikan bantuan terorisme dan menyembunyikan informasi tentang keberadaan jenazah Firdaus. Pada 8 Februari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Mustakim.
Cepatnya proses persidangan Mustakim menurut JPU merupakan hak setiap terdakwa untuk segera mendapatkan proses pemeriksaan dan pengadilan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 (1) sampai dengan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa sebagai terdakwa berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada Penuntut Umum, kemudian perkaranya untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut Umum, dan untuk segera diadili oleh pengadilan. Bertentangan dengan JPU, Tim Pembela Muslim (TPM), yang menjadi penasihat hukum Mustakim, tidak sepakat dengan penetapan Mustakim sebagai terdakwa teroris di Pengadilan Negeri Tangerang. TPM menyatakan bahwa undang-undang yang digunakan tidak tepat, seharusnya menggunakan Undang-Undang Pengadilan Anak. Seperti yang tercantum pada pasal 7 (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
Hal lain yang tidak disepakati oleh TPM dalam kasus Mustakim adalah pengategorian teroris terhadap terdakwa anak. Tindakan Mustakim merupakan kepatuhan seorang anak atas perintah orang yang lebih dewasa, dalam hal ini guru mengajinya, Abrory. Berdasarkan informasi Darmansyah, sepupu Mustakim yang selalu menemaninya selama pemeriksaan, Mustakim tidak mengetahui mengenai bom, bahkan dia dipaksa oleh Abrory dan diancam akan dipukul dengan pedang jika tidak menjalankan perintahnya untuk membeli korek api. Dengan demikian, Abrory  memanfaatkan kekuasaannya selaku orang yang lebih dewasa untuk mempengaruhi, menyuruh atau melibatkan anak yaitu Mustakim dalam suatu tindak pidana terorisme. Tidak tepat kiranya, jika kemudian Mustakim diposisikan sama dengan pelaku teroris yang dewasa.
Pengadilan Mustakim di PN Tangerang dapat memberikan legitimasi penjeratan hukum yang sama terhadap setiap anak yang terlibat dalam tindakan terorisme. Kejahatan yang mereka lakukan akan disederajatkan dengan pelaku kejahatan teroris orang dewasa. Penyamarataan ini akan menimbulkan efek samping. ‘Pelabelan’ anak yang terlibat dalam tindakan teroris sebagai teroris, sama seperti ‘senior-senior’ nya akan mengakibatkan beban psikologis tersendiri. Pada kalangan teroris, dia kemudian akan naik ‘kasta’ karena meski perannya sangat kecil, namun telah dihukum ‘sama’ dengan pelaku yang memiliki peran lebih besar.
Di sisi lain, stigmatisasi masyarakat yang menganggap si anak sebagai teroris akan dihadapi oleh si anak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), bahkan di sekolahpun anak tersebut mungkin akan sulit diterima kembali. Sikap diskriminatif yang dialaminya secara terus menerus dapat membuat trauma tersendiri dan dapat berujung pada sikap keyakinannya yang melegitimasi tindakan kekerasan yang waktu itu dituduhkan kepadanya. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa penyamarataan proses pengadilan pidana teroris bagi terdakwa anak akan menimbulkan dampak negatif yang memungkinkan berkembangnya tingkah laku ‘radikal’ (dukungan terhadap perilaku kekerasan), sehingga fungsi hukum untuk menimbulkan efek jera bagi tertuduh anak tidak akan tercapai.
Kurangnya perhatian terhadap dampak psikologis yang akan berpengaruh pada kehidupan anak yang terkait dalam kasus terorisme, menunjukkan masih kurang siapnya lembaga penegakan hukum dan peradilan dalam menangani kasus teroris dibawah umur. Dimulai dari penyidikan hingga digelar pengadilan, banyak hal yang tidak seharusnya dijalankan untuk Mustakim. Seperti pada saat penyidik menjalankan rekonstruksi untuk membuat berita acara selama proses penyidikan, yang tercantum dalam KUHAP pasal 75, Mustakim harus melakukannya bersama dengan tersangka lainnya dalam satu tempat dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan Undang Undang tentang Pengadilan Anak pasal 42 (3) yang menitikberatkan pada kerahasiaan dalam proses penyidikan.
Penggunaan Undang Undang Anti Terorisme terhadap Mustakim juga kurang tepat, terutama jika dilihat dari tingkat keterlibatannya dalam kasus teroris di Bima dan fakta usianya yang masih dibawah umur. Undang Undang Anti Terorisme hanya memiliki aturan penghukuman dalam bentuk hukuman penjara. Padahal  pemberian efek jera tidak hanya dengan memasukkan seorang terdakwa, khusunya terdakwa anak ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Undang Undang Pengadilan Anak memberikan pilihan pidana lain yang bisa digunakan selain pidana penjara, antara lain pidana denda atau pidana pengawasan. Bahkan Undang Undang tersebut juga memasukkan hukuman selain pidana, yaitu berupa tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Walau bagaimanapun Mustakim yang tergolong anak-anak bukanlah teroris dewasa. Ia sama halnya seperti anak-anak lain yang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (khusus) oleh lembaga penegakan hukum dan peradilan. Penting juga untuk memperhatikan bentuk program pembinaan bagi anak dalam kasus terorisme baik di dalam Lapas maupun program paska masa hukumannya. Negera mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hak-haknya sebagai terdakwa dan warga Negara di bawah umur tetap terpenuhi. Namun, jika lembaga pengadilan masih tetap memperlakukan anak sama seperti teroris lainnya untuk kasus-kasus yang serupa di masa depan, maka hal ini akan menambah panjang daftar kegagalan dari permasalahan terorisme dan kontra terorisme di Indonesia. Semoga saja tidak.

Selasa, 29 November 2011

Tulisan Pertama

Akhirnya saya dapat menulis juga di blog sendiri, setelah tiga tahun memimpikannya. Dulu saya terpesona dengan prestasi seorang teman dari Bogor. Lewat blog pribadinya dia bisa keliling dunia dengan gratis.alias dibiayai oleh sponsor. Saya membayangkan betapa banyak pengalaman yang ia dapat dari perjalanan tersebut. Merasakan duduk di bangku beberapa bandara internasional, melihat lalu-lalang sekitar, berjalan di aspal berbagai negara, sampai menikmati udara di area subtropis. Semuanya tadi hanya karena sebuah blog. Tetapi bukan itu tujuan utama saya membangun blog ini. Saya hanya ingin berbagi pengetahuan, pengalaman, ataupun pertolongan. Jika ada yang lebih, itu adalah bonus.


Blog ini berdomain "lihatitu" dari kata "lihat itu", maksudnya adalah saya memberikan sebuah petunjuk untuk melihat sekitar kita, bahwa ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari sana. Lalu kenapa saya tidak mengambil kata "lihat ini"? Kata tersebut mencerminkan bahwa saya terasa paling benar dan yang lainnya harus mencontoh.

Judul "pertama kali : petualangan terbesar dalam hidup" dalam blog ini bermakna bahwa setiap manusia mempunyai pengalaman pertama dalam hidupnya. Misalkan dalam bidang teknologi, manusia tidak sekonyong-konyong dapat mengetik di komputer, pasti ada tahapan belajar terlebih dahulu. Dalam diri saya, tahapan belajar inilah yang disebut sebagai petualangan terbesar, dimana saat pertama kali memegang mouse detak jantung saya begitu cepat karena tak tahu bagaimana menggunakannya.

Cerita-cerita mengenai pengalaman pertama saya seperti memegang mouse tadi akan banyak menghiasi blog ini, namun ada juga tulisan maupun gambar dan video selain cerita mengenai hal tersebut. Semoga blog ini dapat berguna untuk orang banyak.